Powered By Blogger

Pengikut

Kamis, 10 Mei 2012

AWAL PERKEMBANGAN AGAMA ISLAM


A.    AWAL PERKEMBANGAN AGAMA ISLAM

1.      Riwayat Nabi Muhammad SAW

Ø  Kelahiran
Para penulis sirah (biografi) Muhammad pada umumnya sepakat bahwa ia lahir pada Tahun Gajah, yaitu tahun 570 M, yang merupakan tahun gagalnya Abrahah menyerang Mekkah. Muhammad lahir di kota Mekkah, di bagian Selatan Jazirah Arab, suatu tempat yang ketika itu merupakan daerah paling terbelakang di dunia, jauh dari pusat perdagangan, seni, maupun ilmu pengetahuan. Ayahnya, Abdullah[11], meninggal dalam perjalanan dagang di Madinah, yang ketika itu bernama Yastrib, ketika Muhammad masih dalam kandungan. Ia meninggalkan harta lima ekor unta, sekawanan biri-biri dan seorang budak perempuan bernama Ummu Aiman yang kemudian mengasuh Nabi.
Pada saat Muhammad berusia enam tahun, ibunya Aminah binti Wahab mengajaknya ke Yatsrib (sekarang Madinah) untuk mengunjungi keluarganya serta mengunjungi makam ayahnya. Namun dalam perjalanan pulang, ibunya jatuh sakit. Setelah beberapa hari, Aminah meninggal dunia di Abwa' yang terletak tidak jauh dari Yatsrib, dan dikuburkan di sana. Setelah ibunya meninggal, Muhammad dijaga oleh kakeknya, 'Abd al-Muththalib. Setelah kakeknya meninggal, ia dijaga oleh pamannya, Abu Thalib. Ketika inilah ia diminta menggembala kambing-kambingnya di sekitar Mekkah dan kerap menemani pamannya dalam urusan dagangnya ke negeri Syam (Suriah, Lebanon, dan Palestina).
Hampir semua ahli hadits dan sejarawan sepakat bahwa Muhammad lahir di bulan Rabiulawal, kendati mereka berbeda pendapat tentang tanggalnya. Di kalangan Syi'ah, sesuai dengan arahan para Imam yang merupakan keturunan langsung Muhammad, meyakini bahwa ia lahir pada hari Jumat, 17 Rabiulawal; sedangkan kalangan Sunni percaya bahwa ia lahir pada hari Senin, 12 Rabiulawal (2 Agustus 570 M) status tinggi di kalangan suku Arab. Sebagai seorang pedagang, ia juga sering mengirim barang dagangan ke berbagai pelosok daerah di tanah Arab. Reputasi Muhammad membuat Khadijah memercayakannya untuk mengatur barang dagangan Khadijah, Muhammad dijanjikan olehnya akan dibayar dua kali lipat dan Khadijah sangat terkesan sekembalinya Muhammad membawakan
Ø  Berkenalan dengan Khadijah
Ketika Muhammad mencapai usia remaja dan berkembang menjadi seorang yang dewasa, ia mulai mempelajari ilmu bela diri dan memanah, begitupula dengan ilmu untuk menambah keterampilannya dalam berdagang. Perdagangan menjadi hal yang umum dilakukan dan dianggap sebagai salah satu pendapatan yang stabil. Muhammad sering menemani pamannya berdagang ke arah Utara dan kabar tentang kejujuran dan sifatnya yang dapat dipercaya menyebar luas dengan cepat, membuatnya banyak dipercaya sebagai agen penjual perantara barang dagangan penduduk Mekkah.
Salah seseorang yang mendengar tentang kabar adanya anak muda yang bersifat jujur dan dapat dipercaya dalam berdagang dengan adalah seorang janda yang bernama Khadijah. Ia adalah seseorang yang memiliki hasil berdagang yang lebih dari biasanya.
Seiring waktu akhirnya Muhammad pun jatuh cinta kepada Khadijah, mereka menikah pada saat Muhammad berusia 25 tahun. Saat itu Khadijah telah berusia mendekati umur 40 tahun, namun ia masih memiliki kecantikan yang dapat menawan Muhammad. Perbedaan umur yang jauh dan status janda yang dimiliki oleh Khadijah tidak menjadi halangan bagi mereka, walaupun pada saat itu suku Quraisy memiliki budaya yang lebih menekankan kepada perkawinan dengan seorang gadis ketimbang janda. Meskipun kekayaan mereka semakin bertambah, Muhammad tetap hidup sebagai orang yang sederhana, ia lebih memilih untuk menggunakan hartanya untuk hal-hal yang lebih penting.
Ø  Memperoleh gelar
Ketika Muhammad berumur 35 tahun, ia ikut bersama kaum Quraisy dalam perbaikan Ka'bah. Pada saat pemimpin-pemimpin suku Quraisy berdebat tentang siapa yang berhak meletakkan Hajar Aswad, Muhammad dapat menyelesaikan masalah tersebut dan memberikan penyelesaian adil. Saat itu ia dikenal di kalangan suku-suku Arab karena sifat-sifatnya yang terpuji. Kaumnya sangat mencintainya, hingga akhirnya ia memperoleh gelar Al-Amin yang artinya "orang yang dapat dipercaya".
Diriwayatkan pula bahwa Muhammad adalah orang yang percaya sepenuhnya dengan keesaan Tuhan. Ia hidup dengan cara amat sederhana dan membenci sifat-sifat tamak, angkuh dan sombong yang lazim di kalangan bangsa Arab saat itu. Ia dikenal menyayangi orang-orang miskin, janda-janda tak mampu dan anak-anak yatim serta berbagi penderitaan dengan berusaha menolong mereka. Ia juga menghindari semua kejahatan yang sudah membudaya di kalangan bangsa Arab pada masa itu seperti berjudi, meminum minuman keras, berkelakuan kasar dan lain-lain, sehingga ia dikenal sebagai As-Saadiq yang berarti "yang benar".
2.      Kerasulan






Muhammad dilahirkan di tengah-tengah masyarakat terbelakang yang senang dengan kekerasan dan pertempuran dan menjelang usianya yang ke-40, ia sering menyendiri ke Gua Hira' sebuah gua bukit sekitar 6 km sebelah timur kota Mekkah, yang kemudian dikenali sebagai Jabal An Nur. Ia bisa berhari-hari bertafakur (merenung) dan mencari ketenangan dan sikapnya itu dianggap sangat bertentangan dengan kebudayaan Arab pada zaman tersebut yang senang bergerombol. Dari sini, ia sering berpikir dengan mendalam, dan memohon kepada Allah supaya memusnahkan kekafiran dan kebodohan.
Muhammad pertama kali diangkat menjadi rasul pada malam hari tanggal 17 Ramadhan/ 6 Agustus 611 M, diriwayatkan Malaikat Jibril datang dan membacakan surah pertama dari Quran yang disampaikan kepada Muhammad, yaitu surah Al-Alaq. Muhammad diperintahkan untuk membaca ayat yang telah disampaikan kepadanya, namun ia mengelak dengan berkata ia tak bisa membaca. Jibril mengulangi tiga kali meminta agar Muhammad membaca, tetapi jawabannya tetap sama. Jibril berkata:
Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dengan nama Tuhanmu yang Maha Pemurah, yang mengajar manusia dengan perantaraan (menulis, membaca). Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.(Al-Alaq 96: 1-5)
Muhammad berusia 40 tahun 6 bulan dan 8 hari ketika ayat pertama sekaligus pengangkatannya sebagai rasul disampaikan kepadanya menurut perhitungan tahun kamariah (penanggalan berdasarkan bulan), atau 39 tahun 3 bulan 8 hari menurut perhitungan tahun syamsiah atau tahun masehi (penanggalan berdasarkan matahari). Setelah kejadian di Gua Hira tersebut, Muhammad kembali ke rumahnya, diriwayatkan ia merasakan suhu tubuhnya panas dan dingin secara bergantian akibat peristiwa yang baru saja dialaminya dan meminta istrinya agar memberinya selimut.
Diriwayatkan pula untuk lebih menenangkan hati suaminya, Khadijah mengajak Muhammad mendatangi saudara sepupunya yang juga seorang Nasrani yaitu Waraqah bin Naufal. Waraqah banyak mengetahui nubuat tentang nabi terakhir dari kitab-kitab suci Kristen dan Yahudi. Mendengar cerita yang dialami Muhammad, Waraqah pun berkata, bahwa ia telah dipilih oleh Tuhan menjadi seorang nabi. Kemudian Waraqah menyebutkan bahwa An-Nâmûs al-Akbar (Malaikat Jibril) telah datang kepadanya, kaumnya akan mengatakan bahwa ia seorang penipu, mereka akan memusuhi dan melawannya.
Muhammad menerima ayat-ayat Quran secara berangsur-angsur dalam jangka waktu 23 tahun. Ayat-ayat tersebut diturunkan berdasarkan kejadian faktual yang sedang terjadi, sehingga hampir setiap ayat Quran turun disertai oleh Asbabun Nuzul (sebab/kejadian yang mendasari penurunan ayat). Ayat-ayat yang turun sejauh itu dikumpulkan sebagai kompilasi bernama Al Mushaf yang juga dinamakan Al- Qurʾān (bacaan).
Sebagian ayat Quran mempunyai tafsir atau pengertian yang izhar (jelas), terutama ayat-ayat mengenai hukum Islam, hukum perdagangan, hukum pernikahan dan landasan peraturan yang ditetapkan oleh Islam dalam aspek lain. Sedangkan sebagian ayat lain yang diturunkan pada Muhammad bersifat samar pengertiannya, dalam artian perlu ada interpretasi dan pengkajian lebih mendalam untuk memastikan makna yang terkandung di dalamnya, dalam hal ini kebanyakan Muhammad memberi contoh langsung penerapan ayat-ayat tersebut dalam interaksi sosial dan religiusnya sehari-hari, sehingga para pengikutnya mengikutinya sebagai contoh dan standar dalam berperilaku dan bertata krama dalam kehidupan bermasyarakat.
Ø  Mendapatkan pengikut

Selama tiga tahun pertama sejak pengangkatannya sebagai rasul, Muhammad hanya menyebarkan Islam secara terbatas di kalanganteman-teman dekat dan kerabatnya, hal ini untuk mencegah timbulnya reaksi akut dan masif dari kalangan bangsa Arab saat itu yang sudah sangat terasimilasi budayanya dengan tindakan-tindakan amoral, yang dalam konteks ini bertentangan dengan apa yang akan dibawa dan ditawarkan oleh Muhammad. Kebanyakan dari mereka yang percaya dan meyakini ajaran Muhammad pada masa-masa awal adalah para anggota keluarganya serta golongan masyarakat awam yang dekat dengannya di kehidupan sehari-hari, antara lain Khadijah, Ali, Zaid bin Haritsah dan Bilal. Namun pada awal tahun 613, Muhammad mengumumkan secara terbuka agama Islam. Setelah sekian lama banyak tokoh-tokoh bangsa Arab seperti Abu Bakar, Utsman bin Affan, Zubair bin Al Awwam, Abdul Rahman bin Auf, Ubaidah bin Harits, Amr bin Nufail yang kemudian masuk ke agama yang dibawa Muhammad. Kesemua pemeluk Islam pertama itu disebut dengan As-Sabiqun al-Awwalun atau Yang pertama-tama.
Ø  Penyebaran Islam
Sekitar tahun 613 M, tiga tahun setelah Islam disebarkan secara diam-diam, Muhammad mulai melakukan penyebaran Islam secara terbuka kepada masyarakat Mekkah, respon yang ia terima sangat keras dan masif, ini disebabkan karena ajaran Islam yang dibawa olehnya bertentangan dengan apa yang sudah menjadi budaya dan pola pikir masyarakat Mekkah saat itu. Pemimpin Mekkah Abu Jahal menyatakan bahwa Muhammad adalah orang gila yang akan merusak tatanan hidup orang Mekkah, akibat penolakan keras yang datang dari masyarakat jahiliyyah di Mekkah dan kekuasaan yang dimiliki oleh para pemimpin Quraisy yang menentangnya, Muhammad dan banyak pemeluk Islam awal disiksa, dianiaya, dihina, disingkirkan dan dikucilkan dari pergaulan masyarakat Mekkah.
Walau mendapat perlakuan tersebut, ia tetap mendapatkan pengikut dalam jumlah besar, para pengikutnya ini kemudian menyebarkan ajarannya melalui perdagangan ke negeri Syam, Persia, dan kawasan jazirah Arab. Setelah itu, banyak orang yang penasaran dan tertarik kemudian datang ke Mekkah dan Madinah untuk mendengar langsung dari Muhammad, penampilan dan kepribadiannya yang sudah terkenal baik memudahkannya untuk mendapat simpati dan dukungan dalam jumlah yang lebih besar. Hal ini menjadi semakin mudah ketika Umar bin Khattab dan sejumlah besar tokoh petinggi suku Quraisy lainnya memutuskan untuk memeluk ajaran islam, meskipun banyak juga yang menjadi antipati mengingat saat itu sentimen kesukuan sangat besar di Mekkah dan Medinah. Tercatat pula Muhammad mendapatkan banyak pengikut dari negeri Farsi (sekarang Iran), salah satu yang tercatat adalah Salman al-Farisi, seorang ilmuwan asal Persia yang kemudian menjadi sahabat Muhammad.
Penyiksaan yang dialami hampir seluruh pemeluk Islam selama periode ini mendorong lahirnya gagasan untuk berhijrah (pindah) ke Habsyah (sekarang Ethiophia). Negus atau raja Habsyah, memperbolehkan orang-orang Islam berhijrah ke negaranya dan melindungi mereka dari tekanan penguasa di Mekkah. Muhammad sendiri, pada tahun 622 hijrah ke Yatsrib, kota yang berjarak sekitar 200 mil (320 km) di sebelah Utara Mekkah.
Ø  Hijrah ke Madinah
Masyarakat Arab dari berbagai suku setiap tahunnya datang ke Mekkah untuk beziarah ke Bait Allah atau Ka'bah, mereka menjalankan berbagai tradisi keagamaan dalam kunjungan tersebut. Muhammad melihat ini sebagai peluang untuk menyebarluaskan ajaran Islam. Di antara mereka yang tertarik dengan ajarannya ialah sekumpulan orang dari Yatsrib. Mereka menemui Muhammad dan beberapa orang yang telah terlebih dahulu memeluk Islam dari Mekkah di suatu tempat bernama Aqabah secara sembunyi-sembunyi. Setelah menganut Islam, mereka lalu bersumpah untuk melindungi para pemeluk Islam dan Muhammad dari kekejaman penduduk Mekkah.
Tahun berikutnya, sekumpulan masyarakat Islam dari Yatsrib datang lagi ke Mekkah, mereka menemui Muhammad di tempat mereka bertemu sebelumnya. Abbas bin Abdul Muthalib, yaitu pamannya yang saat itu belum menganut Islam, turut hadir dalam pertemuan tersebut. Mereka mengundang orang-orang Islam Mekkah untuk berhijrah ke Yastrib dikarenakan situasi di Mekkah yang tidak kondusif bagi keamanan para pemeluk Islam. Muhammad akhirnya menerima ajakan tersebut dan memutuskan berhijrah ke Yastrib PADA TAHUN 622 M.
Mengetahui bahwa banyak pemeluk Islam berniat meninggalkan Mekkah, masyarakat jahiliyah Mekkah berusaha mengcegahnya, mereka beranggapan bahwa bila dibiarkan berhijrah ke Yastrib, Muhammad akan mendapat peluang untuk mengembangkan agama Islam ke daerah-daerah yang jauh lebih luas. Setelah selama kurang lebih dua bulan ia dan pemeluk Islam terlibat dalam peperangan dan serangkaian perjanjian, akhirnya masyarakat Muslim pindah dari Mekkah ke Yastrib, yang kemudian setelah kedatangan rombongan dari Makkah pada tahun 622 dikenal sebagai Madinah atau Madinatun Nabi (kota Nabi).
Di Madinah, pemerintahan (kekhalifahan) Islam diwujudkan di bawah pimpinan Muhammad. Umat Islam bebas beribadah (salat) dan bermasyarakat di Madinah, begitupun kaum minoritas Kristen dan Yahudi. Dalam periode setelah hijrah ke Madinah, Muhammad sering mendapat serangkaian serangan, teror, ancaman pembunuhan dan peperangan yang ia terima dari penguasa Mekkah, akan tetapi semuanya dapat teratasi lebih mudah dengan umat Islam yang saat itu telah bersatu di Madinah.
Ø  Penaklukan Mekkah
Tahun 629 M, tahun ke-8 H setelah hijrah ke Madinah, Muhammad berangkat kembali ke Makkah dengan membawa pasukan Muslim sebanyak 10.000 orang, saat itu ia bermaksud untuk menaklukkan kota Mekkah dan menyatukan para penduduk kota Mekkah dan madinah. Penguasa Mekkah yang tidak memiliki pertahanan yang memadai kemudian setuju untuk menyerahkan kota Makkah tanpa perlawanan, dengan syarat kota Mekkah akan diserahkan tahun berikutnya. Muhammad menyetujuinya, dan ketika pada tahun berikutnya ketika ia kembali, ia telah berhasil mempersatukan Mekkah dan Madinah, dan lebih luas lagi ia saat itu telah berhasil menyebarluaskan Islam ke seluruh Jazirah Arab.
Muhammad memimpin umat Islam menunaikan ibadah haji, memusnahkan semua berhala yang ada di sekeliling Ka'bah, dan kemudian memberikan amnesti umum dan menegakkan peraturan Islam di kota Mekkah.
Ø  Pernikahan
Selama hidupnya Muhammad menikah dengan 11 atau 13 orang wanita (terdapat perbedaan pendapat mengenai hal ini). Pada umur 25 Tahun ia menikah dengan Khadijah, yang berlangsung selama 25 tahun hingga Khadijah wafat. Pernikahan ini digambarkan sangat bahagia, sehingga saat meninggalnya Khadijah (yang bersamaan dengan tahun meninggalnya Abu Thalib pamannya) disebut sebagai tahun kesedihan.
Sepeninggal Khadijah, Khawla binti Hakim menyarankan kepadanyauntuk menikahi Sawda binti Zama (seorang janda) atau Aisyah (putri Abu Bakar, dimana Muhammad akhirnya menikahi keduanya. Kemudian setelah itu Muhammad tercatat menikahi beberapa orang wanita lagi hingga jumlah seluruhnya sekitar 11 orang, dimana sembilan di antaranya masih hidup sepeninggal Muhammad.
Para ahli sejarah antara lain Watt dan Esposito berpendapat bahwa sebagian besar perkawinan itu dimaksudkan untuk memperkuat ikatan politik (sesuai dengan budaya Arab), atau memberikan penghidupan bagi para janda (saat itu janda lebih susah untuk menikah karena budaya yang menekankan perkawinan dengan perawan).[15]
B.     Khulafaur Rasyidin
Khulafaur Rasyidin atau Khalifah Ar-Rasyidin adalah empat orang khalifah (pemimpin) pertama agama Islam, yang dipercaya oleh umat Islam sebagai penerus kepemimpinan Nabi Muhammad setelah ia wafat. Empat orang tersebut adalah para sahabat dekat Muhammad yang tercatat paling dekat dan paling dikenal dalam membela ajaran yang dibawanya di saat masa kerasulan Muhammad. Keempat khalifah tersebut dipilih bukan berdasarkan keturunannya, melainkan berdasarkan konsensus bersama umat Islam
Sistem pemilihan terhadap masing-masing khalifah tersebut berbeda-beda, hal tersebut terjadi karena para sahabat menganggap tidak ada rujukan yang jelas yang ditinggalkan oleh Nabi Muhammad tentang bagaimana suksesi kepemimpinan Islam akan berlangsung. Namun penganut paham Syi'ah meyakini bahwa Muhammad dengan jelas menunjuk Ali bin Abi Thalib, khalifah ke-4 bahwa Muhammad menginginkan keturunannyalah yang akan meneruskan kepemimpinannya atas umat Islam, mereka merujuk kepada salah satu Hadits Ghadir Khum
Secara resmi istilah Khulafaur Rasyidin merujuk pada empat orang khalifah pertama Islam, namun sebagian ulama menganggap bahwa Khulafaur Rasyidin atau khalifah yang memperoleh petunjuk tidak terbatas pada keempat orang tersebut di atas, tetapi dapat mencakup pula para khalifah setelahnya yang kehidupannya benar-benar sesuai dengan petunjuk al-Quran dan Sunnah Nabi. Salah seorang yang oleh kesepakatan banyak ulama dapat diberi gelar khulafaur rasyidin adalah Umar bin Abdul-Aziz, khalifah Bani Umayyah ke-8
Ø  Abu Bakar
Abu Bakar ash-Shiddiq (573 - 634 M, menjadi khalifah 632 - 634 M) lahir dengan nama Abdus Syams, adalah khalifah pertama Islam setelah kematian Muhammad. Ia adalah salah seorang petinggi Mekkah dari suku Quraisy. Setelah memeluk Islam namanya diganti oleh Muhammad menjadi Abu Bakar. Ia digelari Ash- Shiddiq yang berarti yang terpercaya setelah ia menjadi orang pertama yang mengakui peristiwa Isra' Mi'raj.
Ia juga adalah orang yang ditunjuk oleh Muhammmad untuk menemaninya hijrah ke Yatsrib. Ia dicatat sebagai salah satu Sahabat Muhammad yang peling setia dan terdepan melindungi para pemeluk Islam bahkan terhadap sukunya sendiri.
Ketika Muhammad sakit keras, Abu Bakar adalah orang yang ditunjuk olehnya untuk menggantikannya menjadi Imam dalam Salat. Hal ini menurut sebagian besar ulama merupakan petunjuk dari Nabi Muhammad agar Abu Bakar diangkat menjadi penerus kepemimpinan Islam, sedangkan sebagian kecil kaum Muslim saat itu, yang kemudian membentuk aliansi politik Syiah, lebih merujuk kepada Ali bin Abi Thalib karena ia merupakan keluarga Nabi. Setelah sekian lama perdebatan akhirnya melalui keputusan bersama umat islam saat itu, Abu Bakar diangkat sebagai pemimpin pertama umat islam setelah wafatnya Muhammad. Abu Bakar memimpin selama dua tahun dari tahun 632 sejak kematian Muhammad hingga tahun 634 M.
Selama dua tahun masa kepemimpinan Abu Bakar, masyarakat Arab di bawah Islam mengalami kemajuan pesat dalam bidang sosial, budaya dan penegakan hukum. Selama masa kepemimpinannya pula, Abu bakar berhasil memperluas daerah kekuasaan islam ke Persia, sebagian Jazirah Arab hingga menaklukkan sebagian daerah kekaisaran Bizantium. Abu Bakar meninggal saat berusia 61 tahun pada tahun 634 M akibat sakit yang dialaminya.
Abu Bakar menjadi khalifah hanya dua tahun. Pada tahun 634 M ia meninggal dunia. Masa sesingkat itu habis untuk menyelesaikan persoalan dalam negeri terutama tantangan yang disebabkan oleh suku-suku bangsa Arab yang tidak mau tunduk lagi kepada pemerintah Madinah sepeninggal Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wasallam. Mereka menganggap bahwa perjanjian yang dibuat dengan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wasallam, dengan sendirinya batal setelah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wasallam wafat. Karena itu mereka menentang Abu Bakar. Karena sikap keras kepala dan penentangan mereka yang dapat membahayakan agama dan pemerintahan, Abu Bakar menyelesaikan persoalan ini dengan apa yang disebut Perang Riddah (perang melawan kemurtadan). Khalid ibn Al-Walid adalah panglima yang banyak berjasa dalam Perang Riddah ini.
Ø  Umar bin Khattab
Umar bin Khattab (586-590 - 644 M, menjadi khalifah 634 - 644 M) adalah khalifah ke-2 dalam sejarah Islam. pengangkatan umar bukan berdasarkan konsensus tetapi berdasarkan surat wasiat yang ditinggalkan oleh Abu Bakar. Hal ini tidak menimbulkan pertentangan berarti di kalangan umat islam saat itu karena umat Muslim sangat mengenal Umar sebagai orang yang paling dekat dan paling setia membela ajaran Islam. Hanya segelintir kaum, yang kelak menjadi golongan Syi'ah, yang tetap berpendapat bahwa seharusnya Ali yang menjadi khalifah. Umar memerintah selama sepuluh tahun dari tahun 634 hingga 644.
Ketika Abu Bakar sakit dan merasa ajalnya sudah dekat, ia bermusyawarah dengan para pemuka sahabat, kemudian mengangkat Umar bin Khatthab sebagai penggantinya dengan maksud untuk mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan dan perpecahan di kalangan umat Islam. Kebijaksanaan Abu Bakar tersebut ternyata diterima masyarakat yang segera secara beramai-ramai membaiat Umar. Umar menyebut dirinya Khalifah Rasulillah (pengganti dari Rasulullah). Ia juga memperkenalkan istilah Amir al-Mu'minin (petinggi orang-orang yang beriman).
Di zaman Umar gelombang ekspansi (perluasan daerah kekuasaan) pertama terjadi; ibu kota Syria, Damaskus, jatuh tahun 635 M dan setahun kemudian, setelah tentara Bizantium kalah di pertempuran Yarmuk, seluruh daerah Syria jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Dengan memakai Syria sebagai basis, ekspansi diteruskan ke Mesir di bawah pimpinan 'Amr ibn 'Ash dan ke Irak di bawah pimpinan Sa'ad ibn Abi Waqqash. Iskandariah (Alexandria, sekarang Istanbul), ibu kota Mesir, ditaklukkan tahun 641 M. Dengan demikian, Mesir jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Al-Qadisiyah, sebuah kota dekat Hirah di Iraq, jatuh pada tahun 637 M. Dari sana serangan dilanjutkan ke ibu kota Persia, al-Madain yang jatuh pada tahun itu juga. Pada tahun 641 M, Moshul dapat dikuasai. Dengan demikian, pada masa kepemimpinan Umar Radhiallahu ‘anhu, wilayah kekuasaan Islam sudah meliputi Jazirah Arabia, Palestina, Syria, sebagian besar wilayah Persia, dan Mesir.
Karena perluasan daerah terjadi dengan cepat, Umar segera mengatur administrasi negara dengan mencontoh administrasi yang sudah berkembang terutama di Persia. Administrasi pemerintahan diatur menjadi delapan wilayah propinsi: Makkah, Madinah, Syria, Jazirah Basrah, Kufah, Palestina, dan Mesir. Beberapa departemen yang dipandang perlu didirikan. Pada masanya mulai diatur dan ditertibkan sistem pembayaran gaji dan pajak tanah. Pengadilan didirikan dalam rangka memisahkan lembaga yudikatif dengan lembaga eksekutif. Untuk menjaga keamanan dan ketertiban, jawatan kepolisian dibentuk. Demikian pula jawatan pekerjaan umum. Umar juga mendirikan Bait al-Mal, menempa mata uang, dan membuat tahun hijiah.
Umar memerintah selama sepuluh tahun (13-23 H/634-644 M). Masa jabatannya berakhir dengan kematian. Dia dibunuh oleh seorang Zoroastrianis, budak Fanatik dari Persia bernama Abu Lu'lu'ah. Untuk menentukan penggantinya, Umar tidak menempuh jalan yang dilakukan Abu Bakar. Dia menunjuk enam orang sahabat dan meminta kepada mereka untuk memilih salah seorang di antaranya menjadi khalifah. Enam orang tersebut adalah Usman, Ali, Thalhah, Zubair, Sa'ad ibn Abi Waqqash, Abdurrahman ibn 'Auf. Setelah Umar wafat, tim ini bermusyawarah dan berhasil menunjuk Utsman sebagai khalifah, melalui proses yang agak ketat dengan Ali ibn Abi Thalib.
Ø  Utsman bin Affan
Utsman bin Affan (menjadi khalifah 644-655 M) adalah khalifah ke-3 dalam sejarah Islam. Umar bin Khattab tidak dapat memutuskan bagaimana cara terbaik menentukan khalifah penggantinya. Segera setelah peristiwa penikaman dirinya oleh Fairuz, seorang majusi persia, Umar mempertimbangkan untuk tidak memilih pengganti sebagaimana dilakukan Rasulullah. Namun Umar juga berpikir untuk meninggalkan wasiat seperti dilakukan Abu Bakar. Sebagai jalan keluar, Umar menunjuk enam orang Sahabat sebagai Dewan Formatur yang bertugas memilih Khalifah baru. Keenam Orang itu adalah Abdurrahman bin Auf, Saad bin Abi Waqash, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib.
Di masa pemerintahan Utsman, Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhodes, dan bagian yang tersisa dari Persia, Transoxania, dan Tabaristan berhasil direbut. Ekspansi Islam pertama berhenti sampai di sini.
Pemerintahan Usman berlangsung selama 12 tahun, pada paruh terakhir masa kekhalifahannya muncul perasaan tidak puas dan kecewa di kalangan umat Islam terhadapnya. Kepemimpinan Utsman memang sangat berbeda dengan kepemimpinan Umar. Ini karena fitnah dan hasutan dari Abdullah bin Saba’ Al-Yamani salah seorang yahudi yang berpura-pura masuk islam. Ibnu Saba’ ini gemar berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lainnya untuk menyebarkan fitnah kepada kaum muslimin yang baru masa keislamannya. Akhirnya pada tahun 35 H/1655 M, Utsman dibunuh oleh kaum pemberontak yang terdiri dari orang-orang yang berhasil dihasut oleh Abdullah bin Saba’ itu.
Salah satu faktor yang menyebabkan banyak rakyat berburuk sangka terhadap kepemimpinan Utsman adalah kebijaksanaannya mengangkat keluarga dalam kedudukan tinggi. Yang terpenting di antaranya adalah Marwan ibn Hakam Rahimahullah. Dialah pada dasarnya yang dianggap oleh orang-orang tersebut yang menjalankan pemerintahan, sedangkan Utsman hanya menyandang gelar Khalifah. Setelah banyak anggota keluarganya yang duduk dalam jabatan-jabatan penting, Usman laksana boneka di hadapan kerabatnya itu. Dia tidak dapat berbuat banyak dan terlalu lemah terhadap keluarganya. Dia juga tidak tegas terhadap kesalahan bawahan. Harta kekayaan negara, oleh kerabatnya dibagi-bagikan tanpa terkontrol oleh Utsman sendiri. Itu semua akibat fitnah yang ditebarkan oleh Abdullah bin Saba’, meskipun Utsman tercatat paling berjasa membangun bendungan untuk menjaga arus banjir yang besar dan mengatur pembagian air ke kota-kota. Dia juga membangun jalan-jalan, jembatan-jembatan, masjid-masjid dan memperluas masjid Nabi di Madinah.
Ø  Ali bin Abi Thalib
Para pemberontak terus mengepung rumah Utsman. Ali memerintahkan ketiga puteranya, Hasan, Husain dan Muhammad bin Ali al-Hanafiyah mengawal Utsman dan mencegah para pemberontak memasuki rumah. Namun kekuatan yang sangat besar dari pemberontak akhirnya berhasil menerobos masuk dan membunuh Khalifah Utsman.
Setelah Utsman wafat, masyarakat beramai-ramai membaiat Ali ibn Abi Thalib sebagai khalifah. Ali memerintah hanya enam tahun. Selama masa pemerintahannya, ia menghadapi berbagai pergolakan. Tidak ada masa sedikit pun dalam pemerintahannya yang dapat dikatakan stabil. Setelah menduduki jabatan khalifah, Ali menon-aktifkan para gubernur yang diangkat oleh Utsman. Dia yakin bahwa pemberontakan-pemberontakan terjadi karena keteledoran mereka. Dia juga menarik kembali tanah yang dihadiahkan Utsmankepada penduduk dengan menyerahkan hasil pendapatannya kepada negara, dan memakai kembali sistem distribusi pajak tahunan di antara orang-orang Islam sebagaimana pernah diterapkan Umar.
Tidak lama setelah itu, Ali ibn Abi Thalib menghadapi pemberontakan Thalhah, Zubair dan Aisyah. Alasan mereka, Ali tidak mau menghukum para pembunuh Utsman, dan mereka menuntut bela terhadap darah Utsman yang telah ditumpahkan secara zhalim. Ali sebenarnya ingin sekali menghindari perang. Dia mengirim surat kepada Thalhah dan Zubair agar keduanya mau berunding untuk menyelesaikan perkara itu secara damai. Namun ajakan tersebut ditolak. Akhirnya, pertempuran yang dahsyat pun berkobar. Perang ini dikenal dengan nama Perang Jamal (Unta), karena Aisyah dalam pertempuran itu menunggang unta, dan berhasil mengalahkan lawannya. Zubair dan Thalhah terbunuh, sedangkan Aisyah ditawan dan dikirim kembali ke Madinah.
Bersamaan dengan itu, kebijaksanaan-kebijaksanaan Ali juga mengakibatkan timbulnya perlawanan dari para gubernur di Damaskus, Mu'awiyah, yang didukung oleh sejumlah bekas pejabat tinggi yang merasa kehilangan kedudukan dan kejayaan. Setelah berhasil memadamkan pemberontakan Zubair, Thalhah dan Aisyah, Ali bergerak dari Kufah menuju Damaskus dengan sejumlah besar tentara. Pasukannya bertemu dengan pasukan Mu'awiyah di Shiffin. Pertempuran terjadi di sini yang dikenal dengan nama Perang Shiffin. Perang ini diakhiri dengan tahkim (arbitrase), tapi tahkim ternyata tidak menyelesaikan masalah, bahkan menyebabkan timbulnya golongan ketiga, kaum Khawarij, orang-orang yang keluar dari barisan Ali. Akibatnya, di ujung masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib umat Islam terpecah menjadi tiga kekuatan politik, yaitu Mu'awiyah, Syi'ah (pengikut Abdullah bin Saba’ al-yahudu) yang menyusup pada barisan tentara Ali, dan al-Khawarij (orang-orang yang keluar dari barisan Ali). Keadaan ini tidak menguntungkan Ali. Munculnya kelompok Khawarij menyebabkan tentaranya semakin lemah, sementara posisi Mu'awiyah semakin kuat. Pada tanggal 20 ramadhan 40 H (660 M), Ali terbunuh oleh salah seorang anggota Khawarij yaitu Abdullah bin Muljam.
C.    Bani Umayyah
Bani Umayyah (bahasa Arab: بنو أمية, Banu Umayyah, Dinasti Umayyah) atau Kekhalifahan Umayyah, adalah kekhalifahan Islam pertama setelah masa Khulafaur Rasyidin yang memerintah dari 661 sampai 750 di Jazirah Arab dan sekitarnya (beribukota di Damaskus) ; serta dari 756 sampai 1031 di Kordoba, Spanyol sebagai Kekhalifahan Kordoba. Nama dinasti ini dirujuk kepada Umayyah bin 'Abd asy-Syams, kakek buyut dari khalifah pertama Bani Umayyah, yaitu Muawiyah bin Abu Sufyan atau kadangkala disebut juga dengan Muawiyah I.
Ø  Masa Keemasan
Kubah Batu di Masjidil Aqsa yang dibangun Bani Ummayyah
Masa ke-Khilafahan Bani Umayyah hanya berumur 90 tahun yaitu dimulai pada masa kekuasaan Muawiyah bin Abu Sufyan, yaitu setelah terbunuhnya Ali bin Abi Thalib, dan kemudian orang-orang Madinah membaiat Hasan bin Ali namun Hasan bin Ali menyerahkan jabatan kekhalifahan ini kepada Mu’awiyah bin Abu Sufyan dalam rangka mendamaikan kaum muslimin yang pada masa itu sedang dilanda bermacam fitnah yang dimulai sejak terbunuhnya Utsman bin Affan, pertempuran Shiffin, perang Jamal dan penghianatan dari orang-orang Khawarij dan Syi'ah, dan terakhir terbunuhnya Ali bin Abi Thalib.
Pada masa Muawiyah bin Abu Sufyan perluasan wilayah yang terhenti pada masa khalifah Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib dilanjutkan kembali, dimulai dengan menaklukan Tunisia, kemudian ekspansi ke sebelah timur, dengan menguasai daerah Khurasan sampai ke sungai Oxus dan Afganistan sampai ke Kabul. Sedangkan angkatan lautnya telah mulai melakukan serangan-serangan ke ibu kota Bizantium, Konstantinopel. Sedangkan ekspansi ke timur ini kemudian terus dilanjutkan kembali pada masa khalifah Abdul Malik bin Marwan. Abdul Malik bin Marwan mengirim tentara menyeberangi sungai Oxus dan berhasil menundukkan Balkanabad, Bukhara, Khawarizm, Ferghana dan Samarkand. Tentaranya bahkan sampai ke India dan menguasai Balukhistan, Sind dan daerah Punjab sampai ke Maltan.
Ekspansi ke barat secara besar-besaran dilanjutkan di zaman Al-Walid bin Abdul-Malik. Masa pemerintahan al-Walid adalah masa ketenteraman, kemakmuran dan ketertiban. Umat Islam merasa hidup bahagia. Pada masa pemerintahannya yang berjalan kurang lebih sepuluh tahun itu tercatat suatu ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju wilayah barat daya, benua Eropa, yaitu pada tahun 711 M. Setelah Aljazair dan Maroko dapat ditundukan, Tariq bin Ziyad, pemimpin pasukan Islam, dengan pasukannya menyeberangi selat yang memisahkan antara Maroko (magrib) dengan benua Eropa, dan mendarat di suatu tempat yang sekarang dikenal dengan nama Gibraltar (Jabal Thariq). Tentara Spanyol dapat dikalahkan. Dengan demikian, Spanyol menjadi sasaran ekspansi selanjutnya. Ibu kota Spanyol, Cordoba, dengan cepatnya dapat dikuasai. Menyusul setelah itu kota-kota lain seperti Seville, Elvira dan Toledo yang dijadikan ibu kota Spanyol yang baru setelah jatuhnya Cordoba. Pasukan Islam memperoleh kemenangan dengan mudah karena mendapat dukungan dari rakyat setempat yang sejak lama menderita akibat kekejaman penguasa.
Di zaman Umar bin Abdul-Aziz, serangan dilakukan ke Perancis melalui pegunungan Pirenia. Serangan ini dipimpin oleh Aburrahman bin Abdullah al-Ghafiqi. Ia mulai dengan menyerang Bordeaux, Poitiers. Dari sana ia mencoba menyerang Tours. Namun, dalam peperangan yang terjadi di luar kota Tours, al-Ghafiqi terbunuh, dan tentaranya mundur kembali ke Spanyol. Disamping daerah-daerah tersebut di atas, pulau-pulau yang terdapat di Laut Tengah (mediterania) juga jatuh ke tangan Islam pada zaman Bani Umayyah ini.
Dengan keberhasilan ekspansi ke beberapa daerah, baik di timur maupun barat, wilayah kekuasaan Islam masa Bani Umayyah ini betul-betul sangat luas. Daerah-daerah itu meliputi Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina, Jazirah Arab, Irak, sebagian Asia Kecil, Persia, Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan, Turkmenistan, Uzbekistan, dan Kirgistan di Asia Tengah.
Disamping ekspansi kekuasaan Islam, Bani Umayyah juga banyak berjasa dalam pembangunan di berbagai bidang. Muawiyah bin Abu Sufyan mendirikan dinas pos dan tempat-tempat tertentu dengan menyediakan kuda yang lengkap dengan peralatannya di sepanjang jalan. Dia juga berusaha menertibkan angkatan bersenjata dan mencetak mata uang. Pada masanya, jabatan khusus seorang hakim (qadhi) mulai berkembang menjadi profesi tersendiri, Qadhi adalah seorang spesialis dibidangnya. Abdul Malik bin Marwan mengubah mata uang Bizantium dan Persia yang dipakai di daerah-daerah yang dikuasai Islam. Untuk itu, dia mencetak uang tersendiri pada tahun 659 M dengan memakai kata-kata dan tulisan Arab. Khalifah Abdul Malik bin Marwan juga berhasil melakukan pembenahan-pembenahan administrasi pemerintahan dan memberlakukan bahasa Arab sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan Islam. Keberhasilan ini dilanjutkan oleh puteranya Al-Walid bin Abdul-Malik (705-715 M) meningkatkan pembangunan, diantaranya membangun panti-panti untuk orang cacat, dan pekerjanya digaji oleh negara secara tetap. Serta membangun jalan-jalan raya yang menghubungkan suatu daerah dengan daerah lainnya, pabrik-pabrik, gedung-gedung pemerintahan dan masjid-masjid yang megah.
Meskipun keberhasilan banyak dicapai daulah ini, namun tidak berarti bahwa politik dalam negeri dapat dianggap stabil. Pada masa Muawiyah bin Abu Sufyan inilah suksesi kekuasaan bersifat monarchiheridetis (kepemimpinan secara turun temurun) mulai diperkenalkan, dimana ketika dia mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, yaitu Yazid bin Muawiyah. Muawiyah bin Abu Sufyan dipengaruhi oleh sistem monarki yang ada di Persia dan Bizantium, istilah khalifah tetap digunakan, namun Muawiyah bin Abu Sufyan memberikan interprestasi sendiri dari kata-kata tersebut dimana khalifah Allah dalam pengertian penguasa yang diangkat oleh Allah.
Dan kemudian Muawiyah bin Abu Sufyan dianggap tidak mentaati isi perjanjiannya dengan Hasan bin Ali ketika dia naik tahta, yang menyebutkan bahwa persoalan penggantian kepemimpinan diserahkan kepada pemilihan umat Islam. Deklarasi pengangkatan anaknya Yazid bin Muawiyah sebagai putera mahkota menyebabkan munculnya gerakan-gerakan oposisi di kalangan rakyat yang mengakibatkan terjadinya perang saudara beberapa kali dan berkelanjutan.
Ketika Yazid bin Muawiyah naik tahta, sejumlah tokoh terkemuka di Madinah tidak mau menyatakan setia kepadanya. Yazid bin Muawiyah kemudian mengirim surat kepada gubernur Madinah, memintanya untuk memaksa penduduk mengambil sumpah setia kepadanya. Dengan cara ini, semua orang terpaksa tunduk, kecuali Husain bin Ali Ibnul Abu Thalib dan Abdullah bin Zubair Ibnul Awwam. Bersamaan dengan itu, kaum Syi'ah (pengikut Abdullah bin Saba’ al-Yahudi) melakukan konsolidasi (penggabungan) kekuatan kembali, dan menghasut Husain bin Ali melakukan perlawanan.
Husain bin Ali sendiri juga dibait sebagai khalifah di Madinah, Pada tahun 680 M, Yazid bin Muawiyah mengirim pasukan untuk memaksa Husain bin Ali untuk menyatakan setia, Namun terjadi pertempuran yang tidak seimbang yang kemudian hari dikenal dengan Pertempuran Karbala[1], Husain bin Ali terbunuh, kepalanya dipenggal dan dikirim ke Damaskus, sedang tubuhnya dikubur di Karbala sebuah daerah di dekat Kufah.
Kelompok Syi'ah sendiri bahkan terus melakukan perlawanan dengan lebih gigih dan diantaranya adalah yang dipimpin oleh Al-Mukhtar di Kufah pada 685-687 M. Al-Mukhtar (yang pada akhirnya mengaku sebagai nabi) mendapat banyak pengikut dari kalangan kaum Mawali (yaitu umat Islam bukan Arab, berasal dari Persia, Armenia dan lain-lain) yang pada masa Bani Umayyah dianggap sebagai warga negara kelas dua. Namun perlawanan Al-Mukhtar sendiri ditumpas oleh Abdullah bin Zubair yang menyatakan dirinya secara terbuka sebagai khalifah setelah Husain bin Ali terbunuh. Walaupun dia juga tidak berhasil menghentikan gerakan Syi'ah secara keseluruhan.
Abdullah bin Zubair membina kekuatannya di Mekkah setelah dia menolak sumpah setia terhadap Yazid bin Muawiyah. Tentara Yazid bin Muawiyah kembali mengepung Madinah dan Mekkah. Dua pasukan bertemu dan pertempuran pun tak terhindarkan. Namun, peperangan ini terhenti karena taklama kemudian Yazid bin Muawiyah wafat dan tentara Bani Umayyah kembali ke Damaskus.
Perlawanan Abdullah bin Zubair baru dapat dihancurkan pada masa kekhalifahan Abdul Malik bin Marwan, yang kemudian kembali mengirimkan pasukan Bani Umayyah yang dipimpin oleh Al-Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi dan berhasil membunuh Abdullah bin Zubair pada tahun 73 H/692 M.
Setelah itu gerakan-gerakan lain yang dilancarkan oleh kelompok Khawarij dan Syi'ah juga dapat diredakan. Keberhasilan ini membuat orientasi pemerintahan Bani Umayyah mulai dapat diarahkan kepada pengamanan daerah-daerah kekuasaan di wilayah timur (meliputi kota-kota di sekitar Asia Tengah) dan wilayah Afrika bagian utara, bahkan membuka jalan untuk menaklukkan Spanyol (Al-Andalus). Selanjuytnya hubungan pemerintah dengan golongan oposisi membaik pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul-Aziz (717-720 M), dimana sewaktu diangkat sebagai khalifah, menyatakan akan memperbaiki dan meningkatkan negeri-negeri yang berada dalam wilayah Islam agar menjadi lebih baik daripada menambah perluasannya, dimana pembangunan dalam negeri menjadi prioritas utamanya, meringankan zakat, kedudukan mawali disejajarkan dengan muslim Arab. Meskipun masa pemerintahannya sangat singkat, namun berhasil menyadarkan golongan Syi'ah, serta memberi kebebasan kepada penganut agama lain untuk beribadah sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya.
Ø  Penurunan
Sepeninggal Umar bin Abdul-Aziz, kekuasaan Bani Umayyah dilanjutkan oleh Yazid bin Abdul-Malik (720- 724 M). Masyarakat yang sebelumnya hidup dalam ketenteraman dan kedamaian, pada masa berubah menjadi kacau. Dengan latar belakang dan kepentingan etnis politis, masyarakat menyatakan konfrontasi terhadap pemerintahan Yazid bin Abdul-Malik cendrung kepada kemewahan dan kurang memperhatikan kehidupan rakyat. Kerusuhan terus berlanjut hingga masa pemerintahan khalifah berikutnya, Hisyam bin Abdul-Malik (724-743 M). Bahkan pada masa ini muncul satu kekuatan baru dikemudian hari menjadi tantangan berat bagi pemerintahan Bani Umayyah. Kekuatan itu berasal dari kalangan Bani Hasyim yang didukung oleh golongan mawali. Walaupun sebenarnya Hisyam bin Abdul-Malik adalah seorang khalifah yang kuat dan terampil. Akan tetapi, karena gerakan oposisi ini semakin kuat, sehingga tidak berhasil dipadamkannya.
Setelah Hisyam bin Abdul-Malik wafat, khalifah-khalifah Bani Umayyah yang tampil berikutnya bukan hanya lemah tetapi juga bermoral buruk. Hal ini semakin memperkuat golongan oposisi. Dan akhirnya, pada tahun 750 M, Daulah Umayyah digulingkan oleh Bani Abbasiyah yang merupakan bahagian dari Bani Hasyim itu sendiri, dimana Marwan bin Muhammad, khalifah terakhir Bani Umayyah, walaupun berhasil melarikan diri ke Mesir, namun kemudian berhasil ditangkap dan terbunuh di sana. Kematian Marwan bin Muhammad menandai berakhirnya kekuasaan Bani Umayyah di timur (Damaskus) yang digantikan oleh Daulah Abbasiyah, dan dimulailah era baru Bani Umayyah di Al-Andalus.
Tugas Individu



SEJARAH ISLAM



 












OLEH

IRNAWATI
AI A2 I I 047
(Kelas A)



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
FAKULTAS KEGURAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
20I2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar