A.
AWAL
PERKEMBANGAN AGAMA ISLAM
1. Riwayat Nabi Muhammad SAW
Ø Kelahiran
Para
penulis sirah (biografi)
Muhammad pada umumnya sepakat bahwa ia lahir pada Tahun
Gajah, yaitu tahun 570 M, yang merupakan tahun gagalnya Abrahah menyerang Mekkah.
Muhammad lahir di kota Mekkah, di bagian Selatan Jazirah Arab, suatu tempat
yang ketika itu merupakan daerah paling terbelakang di dunia, jauh dari pusat
perdagangan, seni, maupun ilmu pengetahuan. Ayahnya, Abdullah[11], meninggal dalam perjalanan dagang di Madinah, yang ketika itu bernama Yastrib, ketika Muhammad
masih dalam kandungan. Ia meninggalkan harta lima ekor unta, sekawanan
biri-biri dan seorang budak perempuan bernama Ummu
Aiman yang kemudian mengasuh Nabi.
Pada
saat Muhammad berusia enam tahun, ibunya Aminah binti Wahab
mengajaknya ke Yatsrib
(sekarang Madinah) untuk mengunjungi keluarganya serta mengunjungi makam
ayahnya. Namun dalam perjalanan pulang, ibunya jatuh sakit. Setelah beberapa
hari, Aminah
meninggal dunia di Abwa' yang terletak tidak jauh dari Yatsrib, dan dikuburkan di sana. Setelah ibunya meninggal, Muhammad
dijaga oleh kakeknya, 'Abd al-Muththalib.
Setelah kakeknya meninggal, ia dijaga oleh pamannya, Abu
Thalib. Ketika inilah ia diminta
menggembala kambing-kambingnya di sekitar Mekkah dan kerap menemani pamannya dalam urusan dagangnya ke
negeri Syam (Suriah,
Lebanon, dan Palestina).
Hampir semua ahli hadits dan sejarawan sepakat bahwa Muhammad lahir di bulan Rabiulawal, kendati mereka berbeda pendapat tentang tanggalnya. Di
kalangan Syi'ah, sesuai dengan arahan para Imam yang merupakan keturunan langsung Muhammad, meyakini bahwa
ia lahir pada hari Jumat,
17 Rabiulawal; sedangkan kalangan Sunni percaya bahwa ia lahir pada hari Senin, 12 Rabiulawal
(2
Agustus 570 M) status tinggi di kalangan suku
Arab. Sebagai seorang pedagang, ia juga
sering mengirim barang dagangan ke berbagai pelosok daerah di tanah Arab.
Reputasi Muhammad membuat Khadijah memercayakannya untuk mengatur barang
dagangan Khadijah, Muhammad dijanjikan olehnya akan dibayar dua kali lipat dan
Khadijah sangat terkesan sekembalinya Muhammad membawakan
Ø Berkenalan dengan Khadijah
Ketika Muhammad mencapai usia remaja dan berkembang menjadi
seorang yang dewasa, ia mulai mempelajari ilmu bela diri
dan memanah, begitupula dengan ilmu untuk menambah keterampilannya
dalam berdagang. Perdagangan menjadi hal yang umum dilakukan dan dianggap
sebagai salah satu pendapatan yang stabil. Muhammad sering menemani pamannya
berdagang ke arah Utara dan kabar tentang kejujuran dan sifatnya yang dapat
dipercaya menyebar luas dengan cepat, membuatnya banyak dipercaya sebagai agen
penjual perantara barang dagangan penduduk Mekkah.
Salah
seseorang yang mendengar tentang kabar adanya anak muda yang bersifat jujur dan
dapat dipercaya dalam berdagang dengan adalah seorang janda yang bernama Khadijah. Ia adalah seseorang yang memiliki hasil berdagang yang
lebih dari biasanya.
Seiring waktu akhirnya Muhammad pun jatuh cinta kepada
Khadijah, mereka menikah pada saat Muhammad berusia 25 tahun. Saat itu Khadijah
telah berusia mendekati umur 40 tahun, namun ia masih memiliki kecantikan yang
dapat menawan Muhammad. Perbedaan umur yang jauh dan status janda yang dimiliki
oleh Khadijah tidak menjadi halangan bagi mereka, walaupun pada saat itu suku Quraisy memiliki budaya yang lebih menekankan kepada perkawinan dengan seorang
gadis ketimbang janda. Meskipun kekayaan mereka semakin bertambah, Muhammad
tetap hidup sebagai orang yang sederhana, ia lebih memilih untuk menggunakan
hartanya untuk hal-hal yang lebih penting.
Ø Memperoleh gelar
Ketika Muhammad berumur 35 tahun, ia ikut bersama kaum
Quraisy dalam perbaikan Ka'bah. Pada saat pemimpin-pemimpin suku Quraisy
berdebat tentang siapa yang berhak meletakkan Hajar
Aswad, Muhammad dapat menyelesaikan
masalah tersebut dan memberikan penyelesaian adil. Saat itu ia dikenal di
kalangan suku-suku Arab karena sifat-sifatnya yang terpuji. Kaumnya sangat
mencintainya, hingga akhirnya ia memperoleh gelar Al-Amin yang artinya "orang yang dapat dipercaya".
Diriwayatkan pula bahwa Muhammad adalah orang yang percaya
sepenuhnya dengan keesaan Tuhan.
Ia hidup dengan cara amat sederhana dan membenci sifat-sifat tamak, angkuh dan
sombong yang lazim di kalangan bangsa Arab saat itu. Ia dikenal menyayangi
orang-orang miskin, janda-janda tak mampu dan anak-anak yatim serta berbagi
penderitaan dengan berusaha menolong mereka. Ia juga menghindari semua
kejahatan yang sudah membudaya di kalangan bangsa Arab pada masa itu seperti berjudi, meminum minuman keras,
berkelakuan kasar dan lain-lain, sehingga ia dikenal sebagai As-Saadiq yang berarti "yang
benar".
2. Kerasulan
Muhammad
dilahirkan di tengah-tengah masyarakat terbelakang yang senang dengan kekerasan
dan pertempuran dan menjelang usianya yang ke-40, ia sering menyendiri ke Gua
Hira' sebuah gua bukit sekitar 6 km
sebelah timur kota Mekkah,
yang kemudian dikenali sebagai Jabal An Nur. Ia bisa berhari-hari bertafakur (merenung) dan mencari ketenangan dan sikapnya itu dianggap
sangat bertentangan dengan kebudayaan Arab pada zaman tersebut yang senang
bergerombol. Dari sini, ia sering berpikir dengan mendalam, dan memohon kepada
Allah supaya memusnahkan kekafiran
dan kebodohan.
Muhammad
pertama kali diangkat menjadi rasul pada malam hari tanggal 17 Ramadhan/ 6 Agustus 611 M, diriwayatkan Malaikat Jibril
datang dan membacakan surah
pertama dari Quran yang disampaikan kepada Muhammad, yaitu surah Al-Alaq.
Muhammad diperintahkan untuk membaca ayat yang telah disampaikan kepadanya, namun ia mengelak dengan
berkata ia tak bisa membaca. Jibril mengulangi tiga kali meminta agar Muhammad
membaca, tetapi jawabannya tetap sama. Jibril berkata:
“
|
Bacalah
dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan manusia dari segumpal darah.
Bacalah, dengan nama Tuhanmu yang Maha Pemurah, yang mengajar manusia dengan
perantaraan (menulis, membaca). Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak
diketahuinya.(Al-Alaq 96: 1-5)
|
”
|
Muhammad
berusia 40 tahun 6 bulan dan 8 hari ketika ayat pertama sekaligus
pengangkatannya sebagai rasul disampaikan kepadanya menurut perhitungan tahun
kamariah (penanggalan berdasarkan bulan),
atau 39 tahun 3 bulan 8 hari menurut perhitungan tahun syamsiah atau tahun masehi (penanggalan berdasarkan matahari). Setelah kejadian di Gua
Hira tersebut, Muhammad kembali ke rumahnya, diriwayatkan ia merasakan suhu
tubuhnya panas dan dingin secara bergantian akibat peristiwa yang baru saja
dialaminya dan meminta istrinya agar memberinya selimut.
Diriwayatkan
pula untuk lebih menenangkan hati suaminya, Khadijah mengajak Muhammad
mendatangi saudara sepupunya yang juga seorang Nasrani yaitu Waraqah bin Naufal.
Waraqah banyak mengetahui nubuat tentang nabi terakhir dari kitab-kitab suci
Kristen dan Yahudi. Mendengar cerita yang dialami Muhammad, Waraqah pun
berkata, bahwa ia telah dipilih oleh Tuhan menjadi seorang nabi. Kemudian
Waraqah menyebutkan bahwa An-Nâmûs al-Akbar (Malaikat Jibril) telah
datang kepadanya, kaumnya akan mengatakan bahwa ia seorang penipu, mereka akan
memusuhi dan melawannya.
Muhammad
menerima ayat-ayat Quran secara berangsur-angsur dalam jangka waktu 23 tahun.
Ayat-ayat tersebut diturunkan berdasarkan kejadian faktual yang sedang terjadi,
sehingga hampir setiap ayat Quran turun disertai oleh Asbabun
Nuzul (sebab/kejadian yang mendasari
penurunan ayat). Ayat-ayat yang turun sejauh itu dikumpulkan sebagai kompilasi
bernama Al Mushaf yang juga dinamakan Al-
Qurʾān (bacaan).
Sebagian
ayat Quran mempunyai tafsir
atau pengertian yang izhar (jelas), terutama ayat-ayat mengenai hukum
Islam, hukum perdagangan, hukum
pernikahan dan landasan peraturan yang ditetapkan oleh Islam dalam aspek lain.
Sedangkan sebagian ayat lain yang diturunkan pada Muhammad bersifat samar
pengertiannya, dalam artian perlu ada interpretasi dan pengkajian lebih
mendalam untuk memastikan makna yang terkandung di dalamnya, dalam hal ini
kebanyakan Muhammad memberi contoh langsung penerapan ayat-ayat tersebut dalam
interaksi sosial dan religiusnya sehari-hari, sehingga para pengikutnya
mengikutinya sebagai contoh dan standar dalam berperilaku dan bertata krama
dalam kehidupan bermasyarakat.
Ø Mendapatkan pengikut
Selama
tiga tahun pertama sejak pengangkatannya sebagai rasul, Muhammad hanya menyebarkan
Islam secara terbatas di kalanganteman-teman dekat dan kerabatnya, hal ini
untuk mencegah timbulnya reaksi akut dan masif dari kalangan bangsa Arab saat
itu yang sudah sangat terasimilasi budayanya dengan tindakan-tindakan amoral,
yang dalam konteks ini bertentangan dengan apa yang akan dibawa dan ditawarkan
oleh Muhammad. Kebanyakan dari mereka yang percaya dan meyakini ajaran Muhammad
pada masa-masa awal adalah para anggota keluarganya serta golongan masyarakat
awam yang dekat dengannya di kehidupan sehari-hari, antara lain Khadijah, Ali,
Zaid bin Haritsah
dan Bilal.
Namun pada awal tahun 613,
Muhammad mengumumkan secara terbuka agama Islam. Setelah sekian lama banyak tokoh-tokoh bangsa Arab seperti
Abu
Bakar, Utsman
bin Affan, Zubair bin Al Awwam, Abdul Rahman bin Auf, Ubaidah bin Harits,
Amr bin Nufail yang kemudian masuk ke agama yang dibawa Muhammad. Kesemua
pemeluk Islam pertama itu disebut dengan As-Sabiqun al-Awwalun atau Yang
pertama-tama.
Ø Penyebaran Islam
Sekitar
tahun 613 M, tiga tahun setelah Islam disebarkan secara diam-diam, Muhammad
mulai melakukan penyebaran Islam secara terbuka kepada masyarakat Mekkah,
respon yang ia terima sangat keras dan masif, ini disebabkan karena ajaran
Islam yang dibawa olehnya bertentangan dengan apa yang sudah menjadi budaya dan
pola pikir masyarakat Mekkah saat itu. Pemimpin Mekkah Abu
Jahal menyatakan bahwa Muhammad adalah
orang gila yang akan merusak tatanan hidup orang Mekkah, akibat penolakan keras
yang datang dari masyarakat jahiliyyah di Mekkah dan kekuasaan yang dimiliki
oleh para pemimpin Quraisy yang menentangnya, Muhammad dan banyak pemeluk Islam
awal disiksa, dianiaya, dihina, disingkirkan dan dikucilkan dari pergaulan
masyarakat Mekkah.
Walau
mendapat perlakuan tersebut, ia tetap mendapatkan pengikut dalam jumlah besar,
para pengikutnya ini kemudian menyebarkan ajarannya melalui perdagangan ke
negeri Syam, Persia,
dan kawasan jazirah Arab. Setelah itu, banyak orang yang penasaran dan tertarik
kemudian datang ke Mekkah dan Madinah untuk mendengar langsung dari Muhammad,
penampilan dan kepribadiannya yang sudah terkenal baik memudahkannya untuk
mendapat simpati dan dukungan dalam jumlah yang lebih besar. Hal ini menjadi
semakin mudah ketika Umar
bin Khattab dan sejumlah besar tokoh petinggi
suku Quraisy lainnya memutuskan untuk memeluk ajaran islam, meskipun banyak
juga yang menjadi antipati mengingat saat itu sentimen kesukuan sangat besar di
Mekkah dan Medinah. Tercatat pula Muhammad mendapatkan banyak pengikut dari
negeri Farsi (sekarang Iran),
salah satu yang tercatat adalah Salman
al-Farisi, seorang ilmuwan asal Persia yang
kemudian menjadi sahabat Muhammad.
Penyiksaan
yang dialami hampir seluruh pemeluk Islam selama periode ini mendorong lahirnya
gagasan untuk berhijrah
(pindah) ke Habsyah
(sekarang Ethiophia). Negus
atau raja Habsyah, memperbolehkan orang-orang Islam berhijrah ke negaranya dan
melindungi mereka dari tekanan penguasa di Mekkah. Muhammad sendiri, pada tahun
622 hijrah ke Yatsrib, kota yang berjarak sekitar 200 mil (320
km) di sebelah Utara Mekkah.
Ø Hijrah ke Madinah
Masyarakat
Arab dari berbagai suku setiap tahunnya datang ke Mekkah untuk beziarah ke Bait Allah atau Ka'bah, mereka menjalankan berbagai tradisi keagamaan dalam kunjungan tersebut. Muhammad melihat ini
sebagai peluang untuk menyebarluaskan ajaran Islam. Di antara mereka yang
tertarik dengan ajarannya ialah sekumpulan orang dari Yatsrib. Mereka menemui Muhammad dan beberapa orang yang telah
terlebih dahulu memeluk Islam dari Mekkah di suatu tempat bernama Aqabah secara sembunyi-sembunyi. Setelah menganut Islam, mereka
lalu bersumpah untuk melindungi para pemeluk Islam dan Muhammad dari kekejaman
penduduk Mekkah.
Tahun
berikutnya, sekumpulan masyarakat Islam dari Yatsrib datang lagi ke Mekkah,
mereka menemui Muhammad di tempat mereka bertemu sebelumnya. Abbas bin Abdul
Muthalib, yaitu pamannya yang saat itu belum menganut Islam, turut hadir dalam
pertemuan tersebut. Mereka mengundang orang-orang Islam Mekkah untuk berhijrah
ke Yastrib dikarenakan situasi di Mekkah yang tidak kondusif bagi keamanan para
pemeluk Islam. Muhammad akhirnya menerima ajakan tersebut dan memutuskan
berhijrah ke Yastrib PADA TAHUN 622 M.
Mengetahui
bahwa banyak pemeluk Islam berniat meninggalkan Mekkah, masyarakat jahiliyah Mekkah berusaha mengcegahnya, mereka beranggapan bahwa bila
dibiarkan berhijrah ke Yastrib, Muhammad akan mendapat peluang untuk
mengembangkan agama Islam ke daerah-daerah yang jauh lebih luas. Setelah selama
kurang lebih dua bulan ia dan pemeluk Islam terlibat dalam peperangan dan
serangkaian perjanjian, akhirnya masyarakat Muslim pindah dari Mekkah ke
Yastrib, yang kemudian setelah kedatangan rombongan dari Makkah pada tahun 622
dikenal sebagai Madinah atau Madinatun Nabi (kota Nabi).
Di
Madinah, pemerintahan (kekhalifahan) Islam diwujudkan di bawah pimpinan Muhammad. Umat Islam
bebas beribadah (salat)
dan bermasyarakat di Madinah, begitupun kaum minoritas Kristen dan Yahudi.
Dalam periode setelah hijrah ke Madinah, Muhammad sering mendapat serangkaian
serangan, teror, ancaman pembunuhan dan peperangan yang ia terima dari penguasa
Mekkah, akan tetapi semuanya dapat teratasi lebih mudah dengan umat Islam yang
saat itu telah bersatu di Madinah.
Ø Penaklukan Mekkah
Tahun
629 M, tahun ke-8 H setelah hijrah ke Madinah, Muhammad berangkat kembali ke
Makkah dengan membawa pasukan Muslim sebanyak 10.000 orang, saat itu ia
bermaksud untuk menaklukkan kota Mekkah dan menyatukan para penduduk kota
Mekkah dan madinah. Penguasa Mekkah yang tidak memiliki pertahanan yang memadai
kemudian setuju untuk menyerahkan kota Makkah tanpa perlawanan, dengan syarat
kota Mekkah akan diserahkan tahun berikutnya. Muhammad menyetujuinya, dan
ketika pada tahun berikutnya ketika ia kembali, ia telah berhasil mempersatukan
Mekkah dan Madinah, dan lebih luas lagi ia saat itu telah berhasil
menyebarluaskan Islam ke seluruh Jazirah Arab.
Muhammad
memimpin umat Islam menunaikan ibadah haji, memusnahkan semua berhala yang ada
di sekeliling Ka'bah, dan kemudian memberikan amnesti umum dan menegakkan
peraturan Islam di kota Mekkah.
Ø Pernikahan
Selama
hidupnya Muhammad menikah dengan 11 atau 13 orang wanita (terdapat perbedaan
pendapat mengenai hal ini). Pada umur 25 Tahun ia menikah dengan Khadijah, yang
berlangsung selama 25 tahun hingga Khadijah wafat. Pernikahan ini digambarkan
sangat bahagia, sehingga saat meninggalnya Khadijah (yang bersamaan dengan
tahun meninggalnya Abu Thalib
pamannya) disebut sebagai tahun kesedihan.
Sepeninggal
Khadijah, Khawla binti Hakim menyarankan kepadanyauntuk menikahi Sawda binti Zama (seorang janda) atau Aisyah (putri Abu
Bakar, dimana Muhammad akhirnya menikahi
keduanya. Kemudian setelah itu Muhammad tercatat menikahi beberapa orang wanita
lagi hingga jumlah seluruhnya sekitar 11 orang, dimana sembilan di antaranya
masih hidup sepeninggal Muhammad.
Para
ahli sejarah antara lain Watt
dan Esposito berpendapat bahwa sebagian besar perkawinan itu dimaksudkan
untuk memperkuat ikatan politik (sesuai dengan budaya Arab), atau memberikan
penghidupan bagi para janda (saat itu janda lebih susah untuk menikah karena
budaya yang menekankan perkawinan dengan perawan).[15]
B. Khulafaur Rasyidin
Khulafaur
Rasyidin atau Khalifah Ar-Rasyidin adalah empat
orang khalifah (pemimpin) pertama agama Islam, yang dipercaya oleh umat Islam sebagai penerus
kepemimpinan Nabi Muhammad setelah ia
wafat. Empat orang tersebut adalah para sahabat dekat Muhammad yang tercatat paling dekat dan paling dikenal dalam
membela ajaran yang dibawanya di saat masa kerasulan Muhammad. Keempat khalifah
tersebut dipilih bukan berdasarkan keturunannya, melainkan berdasarkan
konsensus bersama umat Islam
Sistem pemilihan terhadap masing-masing
khalifah tersebut berbeda-beda, hal tersebut
terjadi karena para sahabat menganggap
tidak ada rujukan yang jelas yang ditinggalkan oleh Nabi Muhammad tentang
bagaimana suksesi kepemimpinan Islam akan berlangsung. Namun penganut paham Syi'ah meyakini bahwa Muhammad dengan jelas menunjuk Ali bin Abi
Thalib, khalifah ke-4
bahwa Muhammad menginginkan keturunannyalah yang akan meneruskan
kepemimpinannya atas umat Islam, mereka merujuk kepada salah satu Hadits Ghadir Khum
Secara resmi istilah Khulafaur Rasyidin
merujuk pada empat orang khalifah pertama Islam, namun sebagian ulama
menganggap bahwa Khulafaur Rasyidin atau khalifah yang memperoleh
petunjuk tidak terbatas pada keempat orang tersebut di atas, tetapi dapat
mencakup pula para khalifah setelahnya yang kehidupannya benar-benar sesuai
dengan petunjuk al-Quran dan Sunnah Nabi. Salah seorang yang oleh kesepakatan
banyak ulama dapat diberi gelar khulafaur rasyidin adalah Umar bin
Abdul-Aziz, khalifah Bani Umayyah ke-8
Ø Abu Bakar
Abu Bakar
ash-Shiddiq (573 - 634
M, menjadi khalifah 632 - 634 M) lahir dengan nama Abdus Syams,
adalah khalifah pertama Islam setelah kematian Muhammad. Ia adalah salah
seorang petinggi Mekkah dari suku Quraisy. Setelah memeluk Islam namanya diganti oleh Muhammad
menjadi Abu Bakar. Ia digelari Ash-
Shiddiq yang berarti yang
terpercaya setelah ia menjadi orang pertama yang mengakui peristiwa
Isra' Mi'raj.
Ia juga adalah orang yang ditunjuk oleh
Muhammmad untuk menemaninya hijrah ke Yatsrib. Ia dicatat sebagai salah satu Sahabat Muhammad yang
peling setia dan terdepan melindungi para pemeluk Islam bahkan terhadap sukunya
sendiri.
Ketika Muhammad sakit keras, Abu Bakar
adalah orang yang ditunjuk olehnya untuk menggantikannya menjadi Imam dalam Salat. Hal ini menurut sebagian besar ulama
merupakan petunjuk dari Nabi Muhammad agar Abu Bakar diangkat menjadi penerus
kepemimpinan Islam, sedangkan sebagian kecil kaum Muslim saat itu, yang
kemudian membentuk aliansi politik Syiah, lebih merujuk kepada Ali bin Abi
Thalib karena ia merupakan keluarga Nabi. Setelah sekian lama perdebatan
akhirnya melalui keputusan bersama umat islam saat itu, Abu Bakar diangkat
sebagai pemimpin pertama umat islam setelah wafatnya Muhammad. Abu Bakar
memimpin selama dua tahun dari tahun 632 sejak kematian Muhammad hingga tahun
634 M.
Selama dua tahun masa kepemimpinan Abu
Bakar, masyarakat Arab di bawah Islam mengalami kemajuan pesat dalam bidang
sosial, budaya dan penegakan hukum. Selama masa kepemimpinannya pula, Abu bakar
berhasil memperluas daerah kekuasaan islam ke Persia, sebagian Jazirah Arab hingga
menaklukkan sebagian daerah kekaisaran Bizantium. Abu Bakar meninggal saat berusia 61 tahun pada tahun
634 M akibat sakit yang dialaminya.
Abu Bakar menjadi khalifah hanya dua
tahun. Pada tahun 634 M ia meninggal dunia. Masa sesingkat itu habis untuk
menyelesaikan persoalan dalam negeri terutama tantangan yang disebabkan oleh
suku-suku bangsa Arab yang tidak mau tunduk lagi kepada pemerintah Madinah
sepeninggal Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wasallam. Mereka menganggap bahwa
perjanjian yang dibuat dengan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wasallam,
dengan sendirinya batal setelah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wasallam wafat. Karena
itu mereka menentang Abu Bakar. Karena sikap keras kepala dan penentangan
mereka yang dapat membahayakan agama dan pemerintahan, Abu Bakar menyelesaikan
persoalan ini dengan apa yang disebut Perang Riddah (perang melawan
kemurtadan). Khalid ibn Al-Walid adalah panglima yang banyak berjasa dalam
Perang Riddah ini.
Ø Umar bin
Khattab
Umar bin Khattab (586-590 -
644 M, menjadi khalifah 634 - 644 M) adalah khalifah ke-2 dalam sejarah
Islam. pengangkatan umar bukan berdasarkan konsensus tetapi berdasarkan surat
wasiat yang ditinggalkan oleh Abu Bakar. Hal ini tidak menimbulkan pertentangan
berarti di kalangan umat islam saat itu karena umat Muslim sangat mengenal Umar
sebagai orang yang paling dekat dan paling setia membela ajaran Islam. Hanya
segelintir kaum, yang kelak menjadi golongan Syi'ah, yang tetap berpendapat
bahwa seharusnya Ali yang menjadi khalifah. Umar memerintah selama sepuluh
tahun dari tahun 634 hingga 644.
Ketika Abu Bakar sakit dan merasa
ajalnya sudah dekat, ia bermusyawarah dengan para pemuka sahabat, kemudian
mengangkat Umar bin Khatthab sebagai penggantinya dengan maksud untuk mencegah
kemungkinan terjadinya perselisihan dan perpecahan di kalangan umat Islam.
Kebijaksanaan Abu Bakar tersebut ternyata diterima masyarakat yang segera
secara beramai-ramai membaiat Umar. Umar menyebut dirinya Khalifah Rasulillah
(pengganti dari Rasulullah). Ia juga memperkenalkan istilah Amir al-Mu'minin
(petinggi orang-orang yang beriman).
Di zaman Umar gelombang ekspansi
(perluasan daerah kekuasaan) pertama terjadi; ibu kota Syria, Damaskus, jatuh
tahun 635 M dan setahun kemudian, setelah tentara Bizantium kalah di
pertempuran Yarmuk, seluruh daerah Syria jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Dengan
memakai Syria sebagai basis, ekspansi diteruskan ke Mesir di bawah pimpinan
'Amr ibn 'Ash dan ke Irak di bawah pimpinan Sa'ad ibn Abi Waqqash. Iskandariah
(Alexandria, sekarang Istanbul), ibu kota Mesir, ditaklukkan tahun
641 M. Dengan demikian, Mesir jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Al-Qadisiyah,
sebuah kota dekat Hirah di Iraq, jatuh pada tahun 637 M. Dari sana serangan
dilanjutkan ke ibu kota Persia, al-Madain yang jatuh pada tahun itu juga. Pada
tahun 641 M, Moshul dapat dikuasai. Dengan demikian, pada masa kepemimpinan
Umar Radhiallahu ‘anhu, wilayah kekuasaan Islam sudah meliputi Jazirah Arabia,
Palestina, Syria, sebagian besar wilayah Persia, dan Mesir.
Karena perluasan daerah terjadi dengan
cepat, Umar segera mengatur administrasi negara dengan mencontoh administrasi
yang sudah berkembang terutama di Persia. Administrasi pemerintahan diatur
menjadi delapan wilayah propinsi: Makkah, Madinah, Syria, Jazirah Basrah,
Kufah, Palestina, dan Mesir. Beberapa departemen yang dipandang perlu
didirikan. Pada masanya mulai diatur dan ditertibkan sistem pembayaran gaji dan
pajak tanah. Pengadilan didirikan dalam rangka memisahkan lembaga yudikatif
dengan lembaga eksekutif. Untuk menjaga keamanan dan ketertiban, jawatan
kepolisian dibentuk. Demikian pula jawatan pekerjaan umum. Umar juga mendirikan
Bait al-Mal, menempa mata uang, dan membuat tahun hijiah.
Umar memerintah selama sepuluh tahun
(13-23 H/634-644 M). Masa jabatannya berakhir dengan kematian. Dia dibunuh oleh
seorang Zoroastrianis, budak Fanatik dari Persia bernama Abu Lu'lu'ah. Untuk
menentukan penggantinya, Umar tidak menempuh jalan yang dilakukan Abu Bakar.
Dia menunjuk enam orang sahabat dan meminta kepada mereka untuk memilih salah
seorang di antaranya menjadi khalifah. Enam orang tersebut adalah Usman, Ali,
Thalhah, Zubair, Sa'ad ibn Abi Waqqash, Abdurrahman ibn 'Auf. Setelah Umar
wafat, tim ini bermusyawarah dan berhasil menunjuk Utsman sebagai khalifah,
melalui proses yang agak ketat dengan Ali ibn Abi Thalib.
Ø Utsman bin
Affan
Utsman bin
Affan (menjadi
khalifah 644-655 M) adalah khalifah ke-3 dalam sejarah Islam. Umar bin
Khattab tidak dapat memutuskan bagaimana cara terbaik menentukan khalifah
penggantinya. Segera setelah peristiwa penikaman dirinya oleh Fairuz, seorang
majusi persia, Umar mempertimbangkan untuk tidak memilih pengganti sebagaimana
dilakukan Rasulullah. Namun Umar juga berpikir untuk meninggalkan wasiat
seperti dilakukan Abu Bakar. Sebagai jalan keluar, Umar menunjuk enam orang
Sahabat sebagai Dewan Formatur yang bertugas memilih Khalifah baru. Keenam
Orang itu adalah Abdurrahman bin
Auf, Saad bin Abi Waqash, Thalhah
bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Utsman bin
Affan dan Ali bin Abi
Thalib.
Di masa pemerintahan Utsman, Armenia,
Tunisia, Cyprus, Rhodes, dan bagian yang tersisa dari Persia, Transoxania, dan
Tabaristan berhasil direbut. Ekspansi Islam pertama berhenti sampai di sini.
Pemerintahan Usman berlangsung selama
12 tahun, pada paruh terakhir masa kekhalifahannya muncul perasaan tidak puas
dan kecewa di kalangan umat Islam terhadapnya. Kepemimpinan Utsman memang
sangat berbeda dengan kepemimpinan Umar. Ini karena fitnah dan hasutan dari
Abdullah bin Saba’ Al-Yamani salah seorang yahudi yang berpura-pura masuk
islam. Ibnu Saba’ ini gemar berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat
lainnya untuk menyebarkan fitnah kepada kaum muslimin yang baru masa
keislamannya. Akhirnya pada tahun 35 H/1655 M, Utsman dibunuh oleh kaum
pemberontak yang terdiri dari orang-orang yang berhasil dihasut oleh Abdullah
bin Saba’ itu.
Salah satu faktor yang menyebabkan
banyak rakyat berburuk sangka terhadap kepemimpinan Utsman adalah
kebijaksanaannya mengangkat keluarga dalam kedudukan tinggi. Yang terpenting di
antaranya adalah Marwan ibn Hakam Rahimahullah. Dialah pada dasarnya yang
dianggap oleh orang-orang tersebut yang menjalankan pemerintahan, sedangkan
Utsman hanya menyandang gelar Khalifah. Setelah banyak anggota keluarganya yang
duduk dalam jabatan-jabatan penting, Usman laksana boneka di hadapan kerabatnya
itu. Dia tidak dapat berbuat banyak dan terlalu lemah terhadap keluarganya. Dia
juga tidak tegas terhadap kesalahan bawahan. Harta kekayaan negara, oleh
kerabatnya dibagi-bagikan tanpa terkontrol oleh Utsman sendiri. Itu semua
akibat fitnah yang ditebarkan oleh Abdullah bin Saba’, meskipun Utsman tercatat
paling berjasa membangun bendungan untuk menjaga arus banjir yang besar dan
mengatur pembagian air ke kota-kota. Dia juga membangun jalan-jalan, jembatan-jembatan,
masjid-masjid dan memperluas masjid Nabi di Madinah.
Ø Ali bin Abi
Thalib
Para pemberontak terus mengepung rumah
Utsman. Ali memerintahkan ketiga puteranya, Hasan, Husain dan Muhammad bin Ali
al-Hanafiyah mengawal Utsman dan mencegah para pemberontak memasuki rumah.
Namun kekuatan yang sangat besar dari pemberontak akhirnya berhasil menerobos
masuk dan membunuh Khalifah Utsman.
Setelah Utsman wafat, masyarakat
beramai-ramai membaiat Ali ibn Abi Thalib sebagai khalifah. Ali memerintah
hanya enam tahun. Selama masa pemerintahannya, ia menghadapi berbagai
pergolakan. Tidak ada masa sedikit pun dalam pemerintahannya yang dapat
dikatakan stabil. Setelah menduduki jabatan khalifah, Ali menon-aktifkan para
gubernur yang diangkat oleh Utsman. Dia yakin bahwa pemberontakan-pemberontakan
terjadi karena keteledoran mereka. Dia juga menarik kembali tanah yang
dihadiahkan Utsmankepada penduduk dengan menyerahkan hasil pendapatannya kepada
negara, dan memakai kembali sistem distribusi pajak tahunan di antara
orang-orang Islam sebagaimana pernah diterapkan Umar.
Tidak lama setelah itu, Ali ibn Abi
Thalib menghadapi pemberontakan Thalhah, Zubair dan Aisyah. Alasan mereka, Ali
tidak mau menghukum para pembunuh Utsman, dan mereka menuntut bela terhadap
darah Utsman yang telah ditumpahkan secara zhalim. Ali sebenarnya ingin sekali
menghindari perang. Dia mengirim surat kepada Thalhah dan Zubair agar keduanya
mau berunding untuk menyelesaikan perkara itu secara damai. Namun ajakan
tersebut ditolak. Akhirnya, pertempuran yang dahsyat pun berkobar. Perang ini
dikenal dengan nama Perang Jamal (Unta), karena Aisyah dalam pertempuran itu
menunggang unta, dan berhasil mengalahkan lawannya. Zubair dan Thalhah
terbunuh, sedangkan Aisyah ditawan dan dikirim kembali ke Madinah.
Bersamaan dengan itu,
kebijaksanaan-kebijaksanaan Ali juga mengakibatkan timbulnya perlawanan dari
para gubernur di Damaskus, Mu'awiyah, yang didukung oleh sejumlah bekas pejabat
tinggi yang merasa kehilangan kedudukan dan kejayaan. Setelah berhasil memadamkan
pemberontakan Zubair, Thalhah dan Aisyah, Ali bergerak dari Kufah menuju
Damaskus dengan sejumlah besar tentara. Pasukannya bertemu dengan pasukan
Mu'awiyah di Shiffin. Pertempuran terjadi di sini yang dikenal dengan nama Perang
Shiffin. Perang ini
diakhiri dengan tahkim (arbitrase), tapi tahkim ternyata tidak menyelesaikan
masalah, bahkan menyebabkan timbulnya golongan ketiga, kaum Khawarij, orang-orang yang keluar dari barisan Ali. Akibatnya, di
ujung masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib umat Islam terpecah menjadi tiga
kekuatan politik, yaitu Mu'awiyah, Syi'ah (pengikut Abdullah bin Saba’
al-yahudu) yang menyusup pada barisan tentara Ali, dan al-Khawarij (orang-orang
yang keluar dari barisan Ali). Keadaan ini tidak menguntungkan Ali. Munculnya
kelompok Khawarij menyebabkan tentaranya semakin lemah, sementara posisi
Mu'awiyah semakin kuat. Pada tanggal 20 ramadhan 40 H (660 M), Ali terbunuh
oleh salah seorang anggota Khawarij yaitu Abdullah bin Muljam.
C. Bani Umayyah
Bani Umayyah
(bahasa
Arab: بنو أمية, Banu Umayyah,
Dinasti Umayyah) atau Kekhalifahan Umayyah, adalah kekhalifahan Islam
pertama setelah masa Khulafaur Rasyidin
yang memerintah dari 661
sampai 750 di Jazirah
Arab dan sekitarnya (beribukota di Damaskus) ; serta dari 756 sampai 1031
di Kordoba, Spanyol
sebagai Kekhalifahan Kordoba. Nama dinasti ini dirujuk kepada Umayyah bin 'Abd asy-Syams, kakek buyut dari khalifah pertama Bani Umayyah, yaitu Muawiyah bin Abu Sufyan atau kadangkala disebut juga dengan Muawiyah I.
Ø Masa Keemasan
Masa
ke-Khilafahan Bani Umayyah hanya berumur 90 tahun yaitu dimulai pada masa
kekuasaan Muawiyah bin Abu Sufyan, yaitu setelah terbunuhnya Ali bin Abi Thalib,
dan kemudian orang-orang Madinah
membaiat Hasan bin Ali
namun Hasan bin Ali menyerahkan jabatan kekhalifahan ini kepada Mu’awiyah bin
Abu Sufyan dalam rangka mendamaikan kaum muslimin yang pada masa itu sedang
dilanda bermacam fitnah yang dimulai sejak terbunuhnya Utsman
bin Affan, pertempuran Shiffin,
perang Jamal dan penghianatan dari orang-orang Khawarij dan Syi'ah,
dan terakhir terbunuhnya Ali bin Abi Thalib.
Pada
masa Muawiyah bin Abu Sufyan perluasan wilayah yang terhenti pada masa khalifah
Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib dilanjutkan kembali, dimulai dengan
menaklukan Tunisia, kemudian ekspansi ke sebelah timur, dengan menguasai
daerah Khurasan sampai ke sungai Oxus dan Afganistan
sampai ke Kabul. Sedangkan angkatan lautnya telah mulai melakukan
serangan-serangan ke ibu kota Bizantium, Konstantinopel. Sedangkan ekspansi ke timur ini kemudian terus dilanjutkan
kembali pada masa khalifah Abdul Malik bin Marwan. Abdul Malik bin Marwan mengirim tentara menyeberangi
sungai Oxus dan berhasil menundukkan Balkanabad, Bukhara,
Khawarizm, Ferghana dan Samarkand.
Tentaranya bahkan sampai ke India
dan menguasai Balukhistan, Sind
dan daerah Punjab sampai ke Maltan.
Ekspansi
ke barat secara besar-besaran dilanjutkan di zaman Al-Walid bin Abdul-Malik. Masa pemerintahan al-Walid adalah masa ketenteraman,
kemakmuran dan ketertiban. Umat Islam merasa hidup bahagia. Pada masa
pemerintahannya yang berjalan kurang lebih sepuluh tahun itu tercatat suatu
ekspedisi militer dari Afrika
Utara menuju wilayah barat daya, benua Eropa, yaitu pada tahun 711 M. Setelah Aljazair dan Maroko
dapat ditundukan, Tariq bin Ziyad,
pemimpin pasukan Islam,
dengan pasukannya menyeberangi selat yang memisahkan antara Maroko (magrib) dengan benua Eropa, dan mendarat di suatu tempat yang sekarang dikenal dengan
nama Gibraltar (Jabal Thariq). Tentara Spanyol dapat dikalahkan. Dengan demikian, Spanyol menjadi sasaran ekspansi selanjutnya. Ibu kota Spanyol, Cordoba,
dengan cepatnya dapat dikuasai. Menyusul setelah itu kota-kota lain seperti Seville, Elvira dan Toledo
yang dijadikan ibu kota Spanyol
yang baru setelah jatuhnya Cordoba. Pasukan Islam memperoleh kemenangan dengan mudah karena mendapat dukungan
dari rakyat setempat yang sejak lama menderita akibat kekejaman penguasa.
Di
zaman Umar bin Abdul-Aziz,
serangan dilakukan ke Perancis
melalui pegunungan Pirenia.
Serangan ini dipimpin oleh Aburrahman
bin Abdullah al-Ghafiqi. Ia mulai
dengan menyerang Bordeaux,
Poitiers. Dari sana ia mencoba menyerang Tours. Namun, dalam peperangan yang terjadi di luar kota Tours, al-Ghafiqi terbunuh, dan tentaranya mundur kembali ke Spanyol. Disamping daerah-daerah tersebut di atas, pulau-pulau yang
terdapat di Laut Tengah (mediterania) juga jatuh ke tangan Islam pada zaman Bani Umayyah ini.
Dengan
keberhasilan ekspansi ke beberapa daerah, baik di timur maupun barat, wilayah
kekuasaan Islam masa Bani Umayyah ini betul-betul sangat luas. Daerah-daerah itu
meliputi Spanyol, Afrika Utara,
Syria, Palestina,
Jazirah
Arab, Irak, sebagian Asia
Kecil, Persia, Afganistan,
daerah yang sekarang disebut Pakistan, Turkmenistan,
Uzbekistan, dan Kirgistan
di Asia
Tengah.
Disamping
ekspansi kekuasaan Islam, Bani Umayyah juga banyak berjasa dalam pembangunan di
berbagai bidang. Muawiyah bin Abu Sufyan mendirikan dinas pos dan tempat-tempat
tertentu dengan menyediakan kuda yang lengkap dengan peralatannya di sepanjang
jalan. Dia juga berusaha menertibkan angkatan bersenjata dan mencetak mata
uang. Pada masanya, jabatan khusus seorang hakim (qadhi) mulai berkembang
menjadi profesi tersendiri, Qadhi adalah seorang spesialis dibidangnya. Abdul
Malik bin Marwan mengubah mata uang Bizantium dan Persia
yang dipakai di daerah-daerah yang dikuasai Islam. Untuk itu, dia mencetak uang
tersendiri pada tahun 659 M dengan memakai kata-kata dan tulisan
Arab. Khalifah Abdul Malik bin Marwan
juga berhasil melakukan pembenahan-pembenahan administrasi pemerintahan dan
memberlakukan bahasa Arab
sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan Islam. Keberhasilan ini
dilanjutkan oleh puteranya Al-Walid bin Abdul-Malik (705-715 M) meningkatkan
pembangunan, diantaranya membangun panti-panti untuk orang cacat, dan
pekerjanya digaji oleh negara secara tetap. Serta membangun jalan-jalan raya
yang menghubungkan suatu daerah dengan daerah lainnya, pabrik-pabrik,
gedung-gedung pemerintahan dan masjid-masjid yang megah.
Meskipun
keberhasilan banyak dicapai daulah ini, namun tidak berarti bahwa politik dalam
negeri dapat dianggap stabil. Pada masa Muawiyah bin Abu Sufyan inilah suksesi
kekuasaan bersifat monarchiheridetis (kepemimpinan secara turun temurun)
mulai diperkenalkan, dimana ketika dia mewajibkan seluruh rakyatnya untuk
menyatakan setia terhadap anaknya, yaitu Yazid bin Muawiyah.
Muawiyah bin Abu Sufyan dipengaruhi oleh sistem monarki yang ada di Persia dan Bizantium,
istilah khalifah tetap digunakan, namun Muawiyah bin Abu Sufyan memberikan
interprestasi sendiri dari kata-kata tersebut dimana khalifah Allah
dalam pengertian penguasa yang diangkat oleh Allah.
Dan
kemudian Muawiyah bin Abu Sufyan dianggap tidak mentaati isi perjanjiannya dengan Hasan
bin Ali ketika dia naik tahta, yang
menyebutkan bahwa persoalan penggantian kepemimpinan diserahkan kepada pemilihan
umat Islam. Deklarasi pengangkatan anaknya Yazid bin Muawiyah
sebagai putera mahkota menyebabkan munculnya gerakan-gerakan oposisi di
kalangan rakyat yang mengakibatkan terjadinya perang saudara beberapa kali dan
berkelanjutan.
Ketika
Yazid bin Muawiyah naik tahta, sejumlah tokoh terkemuka di Madinah tidak mau menyatakan setia kepadanya. Yazid bin Muawiyah kemudian
mengirim surat kepada gubernur Madinah, memintanya untuk memaksa penduduk mengambil sumpah setia
kepadanya. Dengan cara ini, semua orang terpaksa tunduk, kecuali Husain
bin Ali Ibnul Abu Thalib dan Abdullah bin Zubair
Ibnul Awwam. Bersamaan dengan itu, kaum Syi'ah (pengikut Abdullah bin Saba’ al-Yahudi) melakukan konsolidasi (penggabungan) kekuatan kembali, dan
menghasut Husain bin Ali melakukan perlawanan.
Husain
bin Ali sendiri juga dibait sebagai khalifah di Madinah, Pada tahun 680 M, Yazid bin Muawiyah mengirim pasukan
untuk memaksa Husain bin Ali untuk menyatakan setia, Namun terjadi pertempuran
yang tidak seimbang yang kemudian hari dikenal dengan Pertempuran Karbala[1], Husain bin Ali terbunuh, kepalanya dipenggal dan dikirim
ke Damaskus, sedang tubuhnya dikubur di Karbala sebuah daerah di dekat Kufah.
Kelompok
Syi'ah sendiri bahkan terus melakukan perlawanan dengan lebih
gigih dan diantaranya adalah yang dipimpin oleh Al-Mukhtar di Kufah
pada 685-687 M. Al-Mukhtar (yang pada akhirnya mengaku sebagai nabi) mendapat
banyak pengikut dari kalangan kaum Mawali (yaitu umat Islam bukan Arab, berasal dari Persia, Armenia
dan lain-lain) yang pada masa Bani Umayyah dianggap sebagai warga negara kelas
dua. Namun perlawanan Al-Mukhtar sendiri ditumpas oleh Abdullah bin Zubair yang
menyatakan dirinya secara terbuka sebagai khalifah setelah Husain bin Ali
terbunuh. Walaupun dia juga tidak berhasil menghentikan gerakan Syi'ah secara
keseluruhan.
Abdullah bin Zubair
membina kekuatannya di Mekkah
setelah dia menolak sumpah setia terhadap Yazid bin Muawiyah. Tentara Yazid bin
Muawiyah kembali mengepung Madinah
dan Mekkah. Dua pasukan bertemu dan pertempuran pun tak terhindarkan.
Namun, peperangan ini terhenti karena taklama kemudian Yazid bin Muawiyah wafat
dan tentara Bani Umayyah kembali ke Damaskus.
Perlawanan
Abdullah bin Zubair baru dapat dihancurkan pada masa kekhalifahan Abdul Malik bin Marwan, yang kemudian kembali mengirimkan pasukan Bani Umayyah
yang dipimpin oleh Al-Hajjaj
bin Yusuf ats-Tsaqafi dan berhasil membunuh Abdullah bin
Zubair pada tahun 73 H/692 M.
Setelah
itu gerakan-gerakan lain yang dilancarkan oleh kelompok Khawarij dan Syi'ah
juga dapat diredakan. Keberhasilan ini membuat orientasi pemerintahan Bani
Umayyah mulai dapat diarahkan kepada pengamanan daerah-daerah kekuasaan di
wilayah timur (meliputi kota-kota di sekitar Asia
Tengah) dan wilayah Afrika bagian utara, bahkan membuka jalan untuk menaklukkan Spanyol (Al-Andalus).
Selanjuytnya hubungan pemerintah dengan golongan oposisi membaik pada masa
pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul-Aziz
(717-720 M), dimana sewaktu diangkat sebagai khalifah, menyatakan akan
memperbaiki dan meningkatkan negeri-negeri yang berada dalam wilayah Islam agar menjadi lebih baik daripada menambah perluasannya,
dimana pembangunan dalam negeri menjadi prioritas utamanya, meringankan zakat,
kedudukan mawali disejajarkan dengan muslim Arab. Meskipun masa pemerintahannya sangat singkat, namun
berhasil menyadarkan golongan Syi'ah, serta memberi kebebasan kepada penganut agama lain untuk
beribadah sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya.
Ø Penurunan
Sepeninggal
Umar bin Abdul-Aziz,
kekuasaan Bani Umayyah dilanjutkan oleh Yazid bin Abdul-Malik (720- 724 M). Masyarakat yang sebelumnya hidup dalam ketenteraman
dan kedamaian, pada masa berubah menjadi kacau. Dengan latar belakang dan
kepentingan etnis politis, masyarakat menyatakan konfrontasi terhadap
pemerintahan Yazid bin Abdul-Malik cendrung kepada kemewahan dan kurang
memperhatikan kehidupan rakyat. Kerusuhan terus berlanjut hingga masa
pemerintahan khalifah berikutnya, Hisyam bin Abdul-Malik (724-743 M). Bahkan pada masa ini muncul satu kekuatan baru
dikemudian hari menjadi tantangan berat bagi pemerintahan Bani Umayyah.
Kekuatan itu berasal dari kalangan Bani
Hasyim yang didukung oleh golongan mawali.
Walaupun sebenarnya Hisyam bin Abdul-Malik adalah seorang khalifah yang kuat
dan terampil. Akan tetapi, karena gerakan oposisi ini semakin kuat, sehingga
tidak berhasil dipadamkannya.
Setelah
Hisyam bin Abdul-Malik wafat, khalifah-khalifah Bani Umayyah yang tampil
berikutnya bukan hanya lemah tetapi juga bermoral buruk. Hal ini semakin
memperkuat golongan oposisi. Dan akhirnya, pada tahun 750 M, Daulah Umayyah
digulingkan oleh Bani Abbasiyah
yang merupakan bahagian dari Bani Hasyim itu sendiri, dimana Marwan bin Muhammad,
khalifah terakhir Bani Umayyah, walaupun berhasil melarikan diri ke Mesir,
namun kemudian berhasil ditangkap dan terbunuh di sana. Kematian Marwan bin
Muhammad menandai berakhirnya kekuasaan Bani Umayyah di timur (Damaskus) yang
digantikan oleh Daulah Abbasiyah, dan dimulailah era baru Bani Umayyah di
Al-Andalus.
Tugas Individu
SEJARAH ISLAM
OLEH
IRNAWATI
AI A2 I I 047
(Kelas A)
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN SEJARAH
FAKULTAS
KEGURAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
HALUOLEO
KENDARI
20I2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar